-->

Cerpen - DENGAN NAMA ALLAH AKU TERSENYUM (2015) Oleh : Annisa Rakhim


Dengan Nama Allah Aku Tersenyum
Senyuman. Gerakan kecil memikat hati, menjadi cahaya seumpama di kegelapan. Disini, aku berdiri dibawah langit California, mengalirkan pikiran ke arah keajaiban senyuman. Tanpa senyuman, there is no love. Tak perlu irit untuk menunjukkannya. Tapi jangan!, kalu senyummu menjadi tali penarik setan.
Ahmed Zikrian Adam adalah namaku, kedua orang tuaku asli Indonesia. Mereka muslim, maka akupun seorang muslim. Aku lahir di tahun 1995 di negara yang menganut asas ius soli untuk menentukan kewarganegaraan, Los Angeles. Dengan begitu aku bukanlah warga negara Indonesia secara formalnya, walau sebenarnya aku lebih menyukai negara orang tuaku dibanding negaraku ini. Berlawanan dengan hidup keluargaku yang berselimut agama, di Los Angeles, setiap huruf yang berbau “kepercayaan” hanya akan menjadi kata aneh dan tabu jika diucapkan.


Los Angeles, 2015.
“Hey girls..”
“Hei!, I told you to stop it, dude!, jangan menggoda dan senyam senyum seenaknya sama mereka, agamaku mencegah hal-hal seperti itu kau tahu”. Bentakku pada Eric yang suka sekali menggoda para mahasisiwi yang lalu lalang di kampus.
“Eits, it’s your matter, bukan urusanku, agamaku tak melarangnya”.
“It was clear, kau tak punya agama!”. Lalu kukaitkan lenganku pada lehernya sambil menyusuri tangga menuju kelas.
Aku adalah salah seorang mahasiswa di University of California, Los Angeles di fakultas Economics and Business jurusan Akutansi. Orang tuaku berharap besar agar aku bisa segera mulai tinggal di Indonesia lulus nanti, dengan jalan itulah aku sedang berusaha memenuhinya. Dalam berjuang, ada banyak sekali teman seperjuangan, Fatih dan Eric adalah yang paling dekat. 

Eric Liu, selain hoby menggoda mahasiswi, dia adalah mahasiswa kaya di kampus, wajahnya yang tampan dan cukup pintar mendukung dia menjadi populer di lingkungan universitas. Satu hal yang aku sayangkan adalah keras kepalanya yang tak berkeinginan memeluk sebuah agama. Hatiku cukup sakit ketika mengingatnya sebagai sahabatku tapi aku tak mampu menuntunnya.
Sedangkan Fatih Arrawhi, adalah orang Indonesia, dialah yang menginspirasiku. Keteguhan, kesabaran, dan keuletannya mendalami ilmu sungguh tak bisa dianggap enteng. Dia menjadi salah satu dari perwakilan Indonesia yang berhasil mendapat beasiswa melanjutkan belajar di universitas ini. Telah menjadi seorang hafidz sejak umur 7 tahun.  Tunggu saja!, Fatih bersama impiannya, akan membuat dunia tersenyum ketika melihatnya berdiri di salah satu sudut bumi.

“Eric, Zikri, why are you so late?!”. Sambutan dingin dari dosen setelah aku dan Eric memasuki kelas.
“We’re sorry sir, there is some accident”. Lalu aku duduk di bangku sebelah Fatih.
“Kenapa kau selalu berbohong pada dosen? Haha”. Bisik Eric diiringi tawa kecil.
Materi kuliah berakhir dengan sangat cepat. Beginilah, jika saat mencari ilmu adalah kita yang merasa membutuhkan, tanpa paksaan, melainkan dari keinginan sendiri untuk memenuhi dahaga ilmu maka dalam menuntutnya seperti tak kenal waktu. Tapi sebaliknya, bagi pelajar zaman sekarang belajar hanya dijadikan sebagai sebuah syarat, tak tau tujuan, yang penting sekolah.
“Fatih, ke mana perginya Eric?”
“Entah, aku tidak tahu apa yang terjadi padanya, tapi dia keluar kelas dengan wajah yang sangat serius”
“Dia bahkan tak menghiraukan kita ketika akan keluar”. Aku mulai khawatir.

3 hari ditelan waktu, Eric diam, tak ada senyuman, wajahnya menjadi gelap tak secerah dulu. Aku  dan Fatih mencoba bersabar, tapi Eric tak kunjung juga memberi penjelasan. Setiap bertemu, dia selalu menghidar. Aku mulai menebak nebak apa sebenarnya yang terjadi pada Eric. Kalaupun itu karena masalah melanggar aturan kampus,toh dia tak akan peduli, bukan diam seperti yang sedang terjadi.
“Zikri, aku tak tahu harus bagaimana lagi”. Ucap Fatih putus asa.
“Akupun begitu, dia tak pernah lagi tersenyum, bahkan walau sedikit, what’s happened?”. Balasku menundukkan kepala.
“Semoga bukan sesuatu yang buruk”
“Seburuk apapun itu, Allah tak pernah memberi beban yang lebih besar dari kekuatan seseorang, Fatih”
Fatih hanya tersenyum kecil.
Sepulang kuliah, aku dan Fatih berencana untuk mampir ke rumah Eric. Sesampainya disana, semua pintu rumahnya tertutup rapat, terlihat kosong dan sepi. Fatih mencoba mengetuknya, terus mencoba mengetuk namun tak lebih dari 3 kali, tetap tak ada jawaban. Semua ini membuatku cukup tak mengerti, kejadian ini rumit dan tak jelas. Tetapi, jawaban atas semuanya terjawab di keesokan hari..
“Zikri!”. Teriak Fatih memanggilku dari belakang, berlari.
“Oh, Assalamualaikum..Why?, Is there something to tell?”
“Waalaikumussalam, yeah, about Eric!”. Jawab Fatih masih dengan nafas terengah.
“Really?!, Let’s take a seat first”. Setelah mendapatkan tempat duduk, kami melanjutkan perbincangan dengan serius.
“Speak up!”.
“Aku bahkan menangis ketika mendengarnya langsung dari Eric”. Ucap Fatih lemas.
“Apa yang sebenarnya terjadi?”
“Saat itu, Eric mendapat panggilan untuk menemui ayah dan ibunya di pengadilan Amerika pusat..”
“So what?”
“Ayah ibu nya adalah pimpinan tertinggi organisasi pengedar narkoba di Los Angeles”
“Oh Ya Allah”. Aku menatap Fatih tak percaya.
“Pada hari itu, Eric harus menemui mereka untuk yang terakhir kalinya, mereka dihukum mati!”
Aku tak bisa berucap selain terus menyebut nama Allah.
“Aku tak bisa membayangkan bagaimana perasaan Eric ketika melihat Ayah dan ibunya sekarat didepan matanya, Amerika mengeksekusi mereka dengan suntik racun”. Lanjutnya dengan tertatih.
“What about his sister, Ellie?”
“She’s died too, Ellie bunuh diri, polisi mengira karena dia frustasi”
“Dari semua orang, kenapa harus Eric?”. Tanpa sadar air mataku menetes.

Sejak saat itu, aku terus berdzikir dan berdoa, agar Allah melindungi Eric dari setan yang melemahkan. Aku berdoa untuk kekuatan, kesabaran, dan ketabahan Eric. Dan satu yang pasti, aku selalu berdoa agar Eric besedia meminta kekuatan secara langsung pada Tuhan yang satu, Allah, Pemilik segala kekuatan.
“Sabarlah Eric, kami masih bersamamu”
“No, I just..i just feel like wanna die!”. Ucap Eric menunduk, menyembunyikan wajah dibalik telapak tangannya.
“You don’t know how I feel!”. Lanjutnya.
“We know Eric, we know!”. Balasku agak tinggi.
“Aku hanya tak tahu harus kemana untuk meminta pertolongan, I’m lonely!, jika saja aku bisa seperti pohon oak, yang selalu tegar berdiri menantang angin..”. Suara Eric lirih dan terisak.
“Calm down, Eric, there is God who will help you if you ask to Him”. Sahut Fatih halus.
“Where’s God?” Respon Eric langsung mendongakkan kepala.
“Wherever you are, there is God ”
“I wanna meet Him!”
Sulit dipercaya, hatinya terbuka, Eric ingin mengenal Tuhan!

Sudah 5 bulan sejak Eric menjadi mualaf, kebersamaan kami menjadi lebih erat dan hangat. Saling mengingatkan satu sama lain tanpa pamrih. Walau Eric baru sebentar memeluk Islam, dia belajar islam dengan sangat cepat, selain belajar dari kebiasaanku dan Fatih, sisa waktunya dia gunakan untuk belajar sendiri yang sedikit dituntun olehku dan Fatih.
“Andai saja keluargaku dulu telah mengenal islam sejak awal, maka tak akan seperti ini ceritanya”. Kata Eric mengawali pembicaraan dalam perjalanan pulang dari kuliah.
“Sudahlah, gunakan waktumu untuk berfikir tentang masa depan, bukan malah selalu melihat ke belakang, toh semua sudah ditakdirkan sesuai kehendak Allah, begitu juga…”. Balasku belum selesai, Eric berlari mendekati seorang anak kecil.
“Hey Boy..Do you want a candy?”. Sapanya pada anak itu sambil tersenyum lebar.
“Sure, thank you very much”.
“What’s your name?” Tanya Eric dilanjutkan mencium kening anak itu.
“Mark, Mark Whatson”
“Good name, Ok, I got to go..be a good boy, Mark”
“See ya..” Mark mengakhiri dengan lambaian tangan mungilnya.
Aku dan Fatih hanya senyam senyum sedari tadi melihat perubahan drastis dari diri Eric.
“Wow, sekarang kau suka menggoda anak kecil”. Candaku menggoda Eric.
“You don’t know??..Rasulullah sangat senang tersenyum dan mencium anak-anak kecil”
“Subhanallah..”. Sahutku dan Fatih hampir bersamaan.
LihatTutupKomentar